Oleh: islam feminis | Mei 1, 2007

Perempuan dan Syarat Keunggulan Masyarakat

Mengingat begitu fundamentalnya peranan wanita dalam membentuk karakter pribadi sebuah bangsa, ia pun sanggup menjadikan bangsa tersebut unggul atau hancur. Kenapa demikian? Karena sebuah bangsa atau masyarakat adalah komunitas yang terbentuk dari pribadi-pribadi, sedangkan yang membentuk karakter pribadi adalah keluarga. Mustahil ada sebuah masyarakat kalau di sana tak ada keluarga. Lantas siapa yang lebih banyak berperan dalam sebuah keluarga? Tentu wanita, yaitu tatkala ia berperan sebagai seorang ibu. Dalam hal ini Imam Khomaeni berkata; “Dalam pangkuan seorang wanita, lelaki dapat mencapai mi’raj (perjalanan langit)”.

—————————————

Perempuan dan Syarat Keunggulan Masyarakat

Euis Daryati

Sudah merupakan suatu hal yang aksiomatis kiranya bahwa wanita adalah bagian dari tubuh masyarakat. Maka itu, sekiranya komunitas manusia hanya terdiri dari kaum lelaki saja, maka kepunahanlah yang akan terjadi. Hal tadi akan menyebabkan tertahannya proses reproduksi dan tak terwujudnya sebuah komunitas manusia. Ini poin pertama yang cukup menunjukkan betapa pentingnya wujud wanita. Sekali lagi, wanita adalah bagian sebuah masyarakat, bangsa dan komunitas manusia.

Oleh sebab itu, tak syak lagi bahwa wanita mempunyai peran yang sangat urgen dan fundamental dalam memcoraki karakter pribadi-pribadi suatu masyarakat dan bangsa. Mau dibawa kemana masyarakat tersebut, menjadi masyarakat agamis ataukah ateis? Menjadi masyarakat yang korup ataukah yang berjiwa sehat dan bersih? Menjadi bangsa yang pengecut ataukah kesatria? Dalam sebuah mutiara hikmah, seorang bijak berkata: “Wanita adalah pendidik manusia, kebaikan suatu bangsa berporos pada kebaikan wanita, dan kebejatan suatu bangsa berporos pada kebejatan wanita”.

Mengingat begitu fundamentalnya peranan wanita dalam membentuk karakter pribadi sebuah bangsa, ia pun sanggup menjadikan bangsa tersebut unggul atau hancur. Kenapa demikian? Karena sebuah bangsa atau masyarakat adalah komunitas yang terbentuk dari pribadi-pribadi, sedangkan yang membentuk karakter pribadi adalah keluarga. Mustahil ada sebuah masyarakat kalau di sana tak ada keluarga. Lantas siapa yang lebih banyak berperan dalam sebuah keluarga? Tentu wanita, yaitu tatkala ia berperan sebagai seorang ibu. Dalam hal ini Imam Khomaeni berkata; “Dalam pangkuan seorang wanita, lelaki dapat mencapai mi’raj”.

Barangkali perlu catatan kecil sehingga tidak terjadi kesalahpahaman lalu mengambil kesimpulan keliru. Maksud di sini adalah yang paling banyak berperan. Jelas, kita tidak menafikan peranan ayah dalam keluarga. Ayah memiliki peranan yang khas dalam posisinya. Apa mungkin dapat menghasilkan generasi yang saleh kalau makanan yang berikan kepada anaknya, baik ketika masih di dalam kandungan ibu maupun setelah lahir hasil, dari keberhasilan berkorupsi, menipu, ataupun makanan haram lainnya, baik substansi makanan itu sendiri haram seperti babi, atau cara pengusahaannya yang haram seperti melalui korupsi, mencuri, menyuap. Ini sebuah peran penting seorang ayah dalam pembinaan anak. Ataupun segala prilaku seorang ayah yang akan memberikan dampak negatif maupun positif terhadap kepribadian anak.

Namun maksud kita disini adalah peranan wanita sendiri tanpa dikaitkan dengan yang lainnya, di mana jika ia tidak dapat memainkan peran itu dengan baik, justru akan berakibat fatal terhadap kebahagiaan dan kesengsaraan masa depan anaknya. Dalam sebuah hadis, Rasul saww. bersabda: “Orang bahagia ditentukan kebahagiaannya ketika ia masih diperut ibunya, dan orang sengsara ditentukan kesengsaraannya ketika dalam perut ibunya”. (Kanzul Ummal, hadis no. 490)

Jelasnya, hadis di atas tidak hendak menafikan usaha manusia itu dalam menentukan kebahagiaan dan kesengsaraannya sendiri, tapi ingin mengingatkan bahwa gerak-diam ibu pada masa-masa kehamilannya akan berdampak pada pembentukkan karakter anak yang dikandungnya, serta akan menjadi indikasi apakah karakter anak tersebut saleh atau bejat. Ibu mengandung tidak dapat berperilaku sesuka hati, karena hal ini tak ubahnya meracuni anak yang ada di dalam kandungannya.

Ada sebuah kisah ulama besar yang bernama Allamah Majlisi pertama yang patut dipertimbangkan sebagai pelajaran kehidupan kita. Berawal dari di sebuah kota, ada seorang ulama besar alim dan saleh. Suatu hari, selepas melaksanakan shalat Jama’ah yang diimami oleh ulama itu sendiri, seorang makmum datang menghadapnya untuk mengadukan ihwal perilaku anaknya yang telah melubangi tempat airnya (tasyk) sehingga airnya habis. Setelah mendengar pengaduan tersebut, ulama besar itupun lantas bergegas kembali ke rumah dan bertanya pada istrinya; apa yang dilakukan semasa mengandung anaknya itu sehingga melakukan perbuatan yang tidak terpuji,, ia mendesak, ”Wahai istriku, apa yang engkau lakukan ketika masa hamil sehingga anak kita melakukan perbuatan tercela, padahal aku senantiasa memberikan makanan yang halal kepadamu? Sang istri menjawab: “Aku tidak melakukan apa-apa”. Ulama itupun berkata lagi: “Coba engkau ingat-ingat kembali!”

Sang istri berusaha mengingat-ngingat kembali, sampai akhirnya ia sadar akan suatu kejadian lalu berkata kepada suaminya: “Ya, aku ingat sekarang apa yang telah aku lakukan sehingga anakku melakukan perbuatan tercela ini. Suatu hari pada masa aku mengidam, aku lewat di sebuah gang. Di pinggir gang itu, ada sebuah pohon delima yang sebagian dahannya merunduk sampai ke gang. Melihat buah delima yang ada di pohon tersebut, belum lagi aku sedang mengidam, rasanya enak sekali kalau memakannya, kemudian aku mengambil penitik (jarum) dan menusukkannya kesalah satu buah delima. Setelah mendengar cerita tersebut, ulama itupun berkata: “Inilah perilakumu yang menyebabkan anak kita (Allamah Majlisi kedua) sampai melakukan perbuatan tercela. Dulu, kau menusuk buah delima dengan penitik, sekarang anak kita menusuk tempat air orang lain”.

Sekilas, apa yang telah dilakukan istri ulama besar tersebut tampak sepele, tapi bagaimana akibatnya. Dan kita dapat mengambil pelajaran dari cerita di atas untuk kembali mengintropeksi diri kita sendiri, kenapa negara kita dilanda krisis ekonomi, budaya, moral dan sosial, dan tak mampu keluar dari kemelut ini? bukankah semua ini lantaran perbuatan kita sendiri? krisis moral telah merajalela pada semua lapisan masyarakat sehingga orang sulit untuk menjauh darinya, orang alim dikatakan kuno, orang bejat dikatakan modern, sungguh aneh memang zaman sekarang ini. Apakah kita sudah melalaikan tugas utama/ kita dan membiarkan generasi kita dikuasai oleh tangan-tangan asing yang tak bertanggung jawab?

Coba kita kembali intropeksi diri, jangan biarkan anak-anak kita lari dari kita? Jangan biarkan pemikiran, gaya hidup anak-anak kita dijajah oleh kepentingan-kepentingan setan? Mari kita kembalikan anak-anak kita ke pangkuan kita! Sungguh benar nasihat seorang bijak: “Jika ingin memperbaiki sebuah masyarakat maka perbaikilah perempuannya”.

Menjadi seorang ibu merupakan peran secara tidak langsung dalam membangun sebuah masyarakat yang sehat jasmani maupun ruhani, maju dan unggul. Sebab, begitu beratnya tugas menjadi seorang ibu. Tuhan memberikan keistimewaan kepada ibu sebagai balasan atas tugas berat di pundaknya, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasul saww.: “Syurga di bawah telapak kaki ibu”. Kalau kita coba teliti lagi redaksi hadis di atas, mungkin beliau ingin mengatakan juga bahwa di telapak kaki ibulah terbentuk kepribadian surgawi (baik) atau jahanami (buruk). Maksudnya, seorang ibu mampu melahirkan pribadi-pribadi yang baik dan masyarakat yang sehat dan saleh.

Dari sinilah -paling tidak- kaum wanita harus berperan aktif mendidik anak-anaknya dengan prinsip-prinsip takwa, dan melatih mereka dengan cara hidup demikian. Seperti cara hidup bersih, baik lahir maupun batin, mengajari kejujuran, tidak sombong, tidak menipu, merampas hak orang lain, dan memupuknya dengan akhlak mulia. Singkatnya, mendidik mereka dalam rangka menjauhi larangan Allah dan menjalankan perintah-Nya. Bukan hanya sekedar mendidik anak dalam bentuk pendidikan formal saja dan melalaikan sisi ruhani dan spritualnya. Bukan hanya memenuhi kebutuhan kesehatan jasmaninya saja tanpa memperhatikan kebutuhan kesehatan ruhaninya. Inilah langkah awal untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan saleh.[islamalternatif]


Tanggapan

  1. salom
    setuju banget ka’
    Ummu Nargis

  2. Oh ya, makasih…


Tinggalkan Balasan ke iwans Batalkan balasan

Kategori