Oleh: islam feminis | April 11, 2007

Menjawab Tafsir Misoginis (1)

Tetapi mungkin muncul pertanyaan lain, kalaulah hadis tersebut tidak mencakup semua perempuan dan merupakan proposisi eksternal lantas kenapa dalam riwayat tersebut kata”nisa” (berarti: perempuan) memakai alif-lam sehingga dibaca ‘an-nisa’. Sementara dalam kaidah bahasa Arab penggunaan alif-lam istighraq digunakan untuk menunjukkan umum dan mencakup semua yang sejenisnya, apakah ini tidak terjadi kontradiksi?

————————————————————–

Menjawab Tafsir Misoginis (1)

Oleh: Euis Daryati

Prolog

Kajian masalah wanita, menjadi topik yang masih hangat, seiring dengan pembahasan hak-hak asasi manusia yang tidak hanya berimplikasi pada permasalahan wanita itu sendiri tetapi masuk dalam dataran politik, ekonomi, hukum bahkan berimbas pula pada pembahasan agama, termasuk Islam, hingga pada relung-relung keyakinan pribadi pada setiap orang. Salah satu implikasi yang tidak terelakkan adalah isu ini berusaha membongkar dogma-dogma agama, menentang sebagian ayat-ayat al-Qur’an, menghujat hadis-hadis dan melawan setiap ide penerapan hukum Islam dengan alasan ketidaklayakan hukum itu dalam membentengi hak-hak wanita, bahkan jelas-jelas dianggap meminggirkan wanita.

Para ahli sejarah telah sepakat bahwa Islam muncul di saat perempuan terdera dalam puncak keteraniayaan, dimana hak untuk hidup, yang merupakan hak asasi setiap manusia tidak bisa mereka dapatkan. Fenomena semacam ini terus menggejala sampai Islam datang dengan membawa pesan-pesan Ilahi yang menyelamatkan manusia dari alam kegelapan dan kehidupan hewani menuju cahaya dan kehidupan insani. Pada saat itu pula islam mengangkat derajat perempuan dan melepaskan perempuan dari belenggu keteraniayaan. Islam telah mengangkat martabat perempuan dengan memberikan hak-hak yang telah sekian lama terampas dari tangannya serta menempatkannya secara adil.

Tidak hanya sampai disitu, untuk mempermudah masyarakat Islam dalam merubah kultur jahili menuju kultur Islami, Tuhan pun menganugrahkan anak perempuan, Sayyidah Fathimah az-Zahra as, kepada utusan-Nya agar masyarakat mudah meniru dalam memandang dan berprilaku terhadap perempuan. Layaknya skenario film yang berakhir dengan keindahan, datangnya Muhammad saw laksana pepatah “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang menjadi harapan RA Kartini. Artikel ini mencoba menganalisa beberapa teks di dalam doktrin ajaran Islam yang sering dikaji dengan bebas sebagai senjata untuk menisbahkan sebab-sebab kemunduran wanita di dalam Islam. Dikarenakan teks-teks itu pula, budaya dominasi laki-laki atas perempuan terbentuk sejalan dengan keyakinan atas doktrin tersebut.

Akar Permasalahan Tafsir Misoginis

Di dalam kitab-kitab hadis dapat ditemukan beberap hadis yang notabene-nya menyandang gelar sebagai salah satu sumber hukum Islam, tapi secara zahir telah merendahkan derajat perempuan, seperti sabda Rasul saw: “Tidaklah aku tinggalkan setelahku bagi laki-laki fitnah yang lebih bahaya dari perempuan”.[1]“Sebesar-besarnya bala tentara setan adalah wanita, marah,…”[2]“Sesungguhnya perempuan imannya, akalnya,…adalah kurang…”[3]“Jauhilah bermusyawarah dengan perempuan karena pendapat dan tekadnya lemah…”[4] Semua itu dijadikan senjata oleh para musuh Islam untuk menyerang Islam. Lantas, apakah doktrin-doktrin agama tersebut menunjukkan adanya perbedaan substansi perempuan sebagaimana yang dipahami oleh orang awam? Kalau memang mempunyai maksud yang lain, lantas bagaimana kita menginterpretasi hadis-hadis tersebut? Apakah dengan metode tertentu makna yang lebih dalam dari teks tersebut dapat dipahami?

Munculnya interpretasi bahwa Islam membenci dan merendahkan wanita ibarat sebuah penyakit kronis dan menahun dalam sejarah kehidupan manusia, yang tidak hanya dialami Islam tapi juga menimpa sekte, agama dan aliran kepercayaan lainnya. Jika kita analisa pokok permasalahannya, maka akan kita dapati bahwa sebenarnya pemahaman ini muncul dikarenakan penafsiran secara dangkal terhadap sebuah doktrin agama dan sekte. Misalkan saja Islam, maka kita pun akan mengambil secara sepenggal baik dari hadis ataupun al-Qur’an lantas menisbahkan kepada Islam dengan mengatakan, “Seperti inilah perempuan dalam prespektif Islam”.

Penarikan kesimpulan semacam ini tidak dapat dibenarkan oleh akal. Kenapa? Jika kita benar-benar ingin mengetahui perempuan dalam prespektif Islam, maka kita harus menelaah ajaran Islam itu sendiri dari sumber-sumbernya. Dengan kata lain, kita harus mengetahui apa yang dijadikan sumber dan tolok ukur dalam Islam. Kalau yang dijadikan sumber dalam Islam adalah al-Qur’an dan hadis, maka harus merujuk pada kedua sumber tersebut dan menganalisanya, setelah itu baru dapat menarik kesimpulan dan mengatakan seperti inilah Islam memandang perempuan. Apakah dibenarkan dengan hanya melihat sebuah hadis yang belum jelas apakah hadis tersebut memenuhi standar atau tidak, legal atau tidak, lalu kita to the point mengambil kesimpulan dan mengatakan, “Seperti inilah Islam memandang perempuan!”

Misoginis, Sebuah Definisi

Misoginis seperti kebanyakan istilah ilmiah yang lainnya (seperti feminis, humanis, liberalis dll) merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris. Oleh karena itu, untuk mengetahui definisi istilah tersebut kita harus merujuk ke dalam kamus bahasa aslinya. Dalam kamus bahasa Inggris misoginis berasal dari kata “misogyny” yang berarti ”kebencian terhadap wanita”.[5] Dalam kamus ilmiah popular terdapat tiga ungkapan yaitu: “misogin” berarti: benci akan perempuan, membenci perempuan, “misogini” berarti, “benci akan perempuan, perasaan benci akan perempuan” sedang “misoginis” artinya “laki-laki yang benci kepada perempuan”. Namun secara terminologi istilah misoginis juga digunakan untuk doktrin-doktrin sebuah aliran pemikiran yang secara zahir memojokkan dan merendahkan derajat perempuan, seperti yang terdapat dalam beberapa teks hadis di atas.[6]

Menjawab Tafsir Misoginis

Dalam makalah ini hanya akan dibatasi analisis beberapa teks hadis kontroversial sebagai berikut: Sesungguhnya perempuan imannya, akalnya …adalah kurang.[7]Jauhilah bermusyawarah dengan perempuan karena pendapat dan tekadnya lemah…[8]Apakah teks-teks seperti di atas menunjukkan kekurangan perempuan secara eksistensial? Jika teks-teks tersebut menunjukkan kekurangan eksistensial perempuan, lantas bagaimana halnya dengan pribadi-pribadi seperti Maryam as dan Asyiah as, dimana Allah swt telah memuji mereka dalam al-Qur’an. Atau juga seperti sosok Khadijah as, dan Fathimah Zahra as dimana Allah swt telah memuji mereka melalui Rasul-Nya, dsb. yang merupakan manusia sempurna (insan kamil)? Padahal, konsekuensi sebagai manusia sempurna bukankah berarti akal dan iman mereka harus sempurna juga?

Untuk menjawab pertanyaan di atas terdapat beberapa langkah yang harus dilalui: Pertama, menganalisa sanad hadis tersebut, apakah memenuhi standar legal yang diperlukan atau tidak? Jika ternyata dari sisi sanad tidak terdapat masalah, lanjutkan dengan langkah berikutnya. Kedua, harus memahami muatan hadis tersebut. Untuk memahami muatan teks suatu hadis, terutama seperti hadis di atas, kita harus melihat semua teks-teks hadis yang berkaitan dengannya. Apakah ada pertentangan di antara hadis-hadis tersebut atau tidak? Ketiga, melihat situasi dan kondisi ketika riwayat tersebut disampaikan oleh perawi hadis, sehingga dapat lebih mudah memahaminya. Inilah langkah-langkah umum untuk memahami hadis dengan benar.

Kembali kepada hadis di atas, benarkah dispensasi pada masa haid menyebabkan kekurangan iman? Berkenaan dengan kekurangan iman perempuan, terdapat tiga hadis yang menggunakan ungkapan: “memiliki kekurangan dan kelemahan dari sisi agama”, dan dalam satu riwayat lain menggunakan ungkapan “memiliki kekurangan dari sisi iman”. Sedang maksud dari kekurangan sisi agama di sini adalah berkurangnya taklif (kewajiban syar’i) dimana hal ini sama sekali tidak berhubungan dengan derajad kemuliaan. Dispensasi yang diberikan Allah kepada wanita untuk tidak melaksanakan shalat dan puasa pada masa menstruasi dinyatakan sebagai kekurangan di dalam bahasa riwayat tersebut.

Sebenarnya dengan adanya dispensasi tersebut (hilangnya beberapa kewajiban di saat menstruasi) tidak menunjukkan rendahnya kedudukan perempuan, oleh karena;

Pertama, perempuan tidak melaksanakan shalat dan puasa ketika sedang haid sebenarnya adalah dalam rangka mentaati perintah Tuhan. Karena bukankah Tuhan yang melarang wanita untuk shalat dan puasa dalam keadaan itu? Tidak ada yang lebih bernilai kecuali ketaatan terhadap perintah-Nya. Bukankah Iblis telah beribadah hingga beribu tahun tapi pada akhirnya terusir karena menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam?[9]

Kedua, meskipun perempuan mendapatkan dispensasi dalam beberapa ibadah (shalat dan puasa) tapi bukankah perempuan lebih cepat mencapai masa taklif, dimana perempuan telah mencapai usia balig pada umur 9 tahun sedang laki-laki lima belas tahun.[10]Pada usia 50 tahun seorang perempuan akan memasuki masa menopause hingga tiada lagi halangan untuk melaksanakan ibadah secara penuh. Dan bukankah pada masa hamil dan menyusui perempuan tetap dapat melaksanakan kewajibannya? Selain itu, pada masa kehamilan dan menyusui, Tuhan memberikan pahala istimewa kepada para wanita sebagaimana diisyaratkan pada beberapa riwayat. Rasul bersabda:“Pahala wanita hamil seperti pahalanya orang yang berjihad di jalan Allah. Melahirkan menyebabkan perempuan terampuni dari dosa-dosanya, begitupun pahala orang yang menyusui seperti pahala orang yang membebaskan budak di jalan Allah”[11]Oleh karena itu, dari sisi kuantitas waktu pelaksanaan peribadatan antara laki-laki dan perempuan tidaklah jauh berbeda.

Ketiga, dari sini kita tahu bahwa maksud dari riwayat yang mengatakan; “Perempuan mempunyai kekurangan dari sisi iman” ialah ingin mengisyaratkan bahwa dengan adanya dispensasi dalam beberapa jenis peribadatan akan menjadi lahan (baca: potensi) untuk melemahnya iman. Untuk menghindari hal tersebut, Rasulullah saw memberikan pesan kepada para wanita yang sedang haid, ketika waktu shalat tiba hendaknya ia membersihkan diri kemudian berwudlu. Setelah itu menghadap kiblat untuk berdoa’ dan bermunajat kepada Allah swt.[12] Dengan melakukan hal ini, maka wanita dapat mengganti kekosongan hubungan spiritual dengan Tuhannya yang terputus akibat menstruasi, melalui jenis ibadah lain.

Keempat, kehendak alami Tuhan (iradah takwini) memang menghendaki penciptaan sistem anatomi tubuh khusus bagi perempuan yang berbeda dengan laki-laki. Pada perempuan, harus terjadi proses pendarahan sebagai lahan untuk terjadinya pembuahan, kehamilan dan lahirlah generasi penerus. Dengan kata lain, menstruasi di luar kehendak perempuan dan sudah menjadi suratan ciptaannya. Mungkinkah Tuhan menghukumi sesuatu dengan positif dan negatif sementara hal tersebut di luar kehendak dan ikhtiyar manusia? Tentu jawabannya adalah tidak.

Kelima, kita dapat menelaah banyak ayat-ayat al-Qur’an yang membahas persamaan nilai serta kesempurnaan antara laki-laki dan perempuan, seperti dalam surat al-Ahzab: 35, Ali-Imran:105, al-Hadid:12, an-Nahl:97 dan lain-lain. Bahkan al-Qur’an dengan sangat jelas menyatakan istri Fir’aun sebagai suriteladan bagi orang-orang mukmin, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana yang dapat kita lihat dalam ayat berikut:“Dan Allah membuat istri fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman…”[13] Kalaulah perempuan secara umum imannya kurang, mungkinkah sebagian mereka dapat dijadikan teladan bagi orang-orang beriman? Begitupula jika kita menelaah hadis-hadis lain yang menjelaskan tentang keagungan para wanita yang sempurna imannya. Dalam sebuah hadis Rasul bersabda:

“Derajat Fathimah sejajar dengan Ali, serta lebih utama dari para lelaki yang ada pada zamannya…”.[14] [islamalternatif.com]

Bersambung….


Tanggapan

  1. saat ini, saya selalu di undang untuk menghadiri acara-acara seminar yang substansinya adalah memerangi kaum feminis yang menentang Islam…? saya mohon apabila ada kegiatan yang dilaksanakan saya siap untuk menghadirinya. terima kasih, Semoga Perempuan Islam benar-benar dapat bangkit dari ketertindasan


Tinggalkan komentar

Kategori